Rabu, 05 Desember 2007

Princess Jihan: Keajaiban Hamdalah


Princess Jihan:

Keajaiban Hamdalah

Princess Jihan lama tak berkunjung wilayah utara Kerajaan Istiqlal yang disebut Uthar Prada. Tapi sebuah kabar buruk yang didengarnya tadi subuh membuatnya ingin pergi ke sana. Princess Jihan pun menghampiri Raja Haedar.

“Ayahanda, izinkan aku berkunjung ke Uthar Prada hari ini,” pinta Princess Jihan.

“Ayah tidak ingin melarangmu pergi kesana. Tapi kamu juga tahu, di sana baru saja dilanda bencana badai semalam,” cegah Raja Haedar.

“Justru itu yang membuat aku ingin ke sana. Tolong izinkan aku, Ayahanda. Aku ingin memberi semangat kepada rakyat yang tengah sedih setelah dilanda bencana,” bujuk Princess Jihan.

Raja Haedar berpikir sebentar. Ia tahu benar watak keras Princess Jihan yang sulit sekali dilarang jika ada keinginan. Untung saja keinginan Princess Jihan selama ini selalu hal yang baik-baik.

“Aku berjanji akan pulang secepatnya, jika diizinkan pergi ke sana,” ucap Princess Jihan.

“Baiklah, kamu boleh pergi. Bawalah beberapa pengawal terbaik,” ucap Raja Haedar.

“Alhamdulillah.” Princess Jihan pun tersenyum senang.

Ia segera bersiap untuk pergi ke Uthar Prada. Princess Jihan mengajak dua dayang setianya ikut serta, Dayang Mawar dan dayangMelati. Tak lama kemudian Princess Jihan berangkat dengan pasukan khusus menuju Uthar Prada. Sebelumnya pasukan khusus kesehatan dan pangan telah berangkat terlebih dahulu diutus Raja Haedar.

Perjalanan menuju Uthar Prada sangat jauh. Untung saja Dayang Mawar dan dayang Melati selalu dapat menghibur Princess Jihan. Mereka berdua terus bermaian berbalas pantun tanpa ada yang mau mengalah sebentar pun.

“Burung gelatik terkena luka. Wajahku cantik banyak yang suka,” kata Dayang Mawar.

“Air cuka pastilah masam rasanya. Orang yang suka pastilah tertutup matanya,” ledek Dayang Melati.

Princess Jihan tertawa ketika melihat wajah Dayang Mawar yang langsung cemberut. “Kalau cemberut begitu mana bisa dibilang cantik,” kata Princes Jihan.

Dayang Mawar pun buru-buru tersenyum. Tapi tiba-tiba wajahnya jadi tegang ketika tiba-tiba terdengar teriakan dari kepala pasukan di bagian depan rombongan. Begitu pula wajah Princess Jihan dan Dayang Melati.

“Di depan ada beberapa jejak kuda. Kami yakin itu rombongan perampok di sekitar sini,” lapor seorang parjurit. “Princess harap tenang di dalam kereta ini. Sebaiknya tidak usah keluar. Juga para dayang.”

Tak lama kemudian rombongan terhenti. Benar saja, tiba-tiba berdatangan dari segala penjuru puluhan orang berawajah bengis. Sebagian ada yang menutup wajahnya. Dayang Melati dan Dayang Mawar yang melihat dari jendela kereta langsung panik. Apalagi ketika ada seorang perampok yang berhasil mendekati jendela kereta.

“Auw! Tolong!” Dayang Melati dan Dayang Mawar berteriak ketakutan sambil memeluk Princess Jihan.

Untungnya ada pengawal yang langsung menghalau penjahat itu hingga jatuh. Pengawal itu langsung berteriak ke dalam kereta.

Para dayang ini bagaimana sih? Mestinya kalian yang melindungi Princess Jihan. Bukan kalian yang ketakutan dan minta lindungan kepada Princess Jihan!”

Wajah Dayang Mawar dan Dayang Melati pun bersemu merah. Dalam situasi apapun, tugas mereka adalah memang melindungi Princess Jihan.

Tak berapa lama para pengawal kerajaan berhasil melumpuhkan para penjahat itu. Sebagian penjahat ada yang terkapar di tanah, ada juga yang lari masuk ke hutan, dan beberapa diikat oleh para pengawal.

Princess Jihan keluar dari kereta karena merasa keadaan sudah aman. Dayang Mawar dan Dayang Melati pun turut serta.

“Mengapa kalian mengganggu kami?” tanya Princess Jihan sambil mendekati seorang penjahat.

Penjahat yang ditanya hanya diam sambil tertunduk lesu.

“Huh, dasar! Badan besar, tampang seram, tapi beraninya mengganggu kaum perempuan seperti kami! Tapi kami tidak takut. Lihat nih!” Dayang Melati kemudian pergi menghampiri semak-semak. Ia lalu mengambil tiga ekor ulat dari sebagian ranting.

“Nah, kalau kamu memang sok jagoan. Coba tahan ini!: Dayang Melati memasukkan ulat-ulat itu ke bagian dalam baju si penjahat dari bagian leher belakang. Benar saja! Penjahat bertubuh besar dan berwajah seram itu langsung pucat dan berjingkrak-jingkrak.

Dayang Mawar dan Dayang Melati tertawa geli melihatnya. Apalagi penjahat itu kemudian bersimpuh memohon ampun agar ulat-ulat itu dibersihkan oleh temannya.

Princess Jihan kemudian meminta kepala pengawal membebaskan semua penjahat itu.

“Ingat, jika kalian ketahuan berbuat jahat lagi di kerajaan ini, maka hukuman berat akan menunggu kalian!” ancam Princess Jihan.

Beberapa tawanan langsung bersimpuh. “Terima kasih atas ampunannya. Maafkan kami!”

Mereka pun kemudian masuk ke dalam hutan. Beberapa orang penjahat yang tadi tampak terkapar pun langsung sehat dan berlarian ke hutan. Ternyata mereka tidak benar-benar terkapar. Tapi pura-pura terkapar agar tidak ditahan.

Setelah meneruskan perjalanan hampir setengah hari ke arah utara, akhirnya rombongan Putri Jihan tiba di Uthar Prada. Wilayah itu berada di pesisir pantai. Kebanyakan penduduknya hidup sebagai nelayan.

Tiga bulan yang lalu ketika Princess Jihan dating ke Uthar Prada, keadaannya masih sangat teratur dan tentram. Semua tertata rapi. Tapi sekarang wilayah itu porak poranda setelah diserang badai.

Princess Jihan melihat beberapa petugas kesehatan dan penduduk membantu mengangkat para korban yang luka berat dan ringan ke tenda khusus. Ada juga tempat khusus untuk mereka yang wafat dan belum dikenali keluarganya.

“Huhuhuhuhu … hiks!”

Langkah Princes Jihan terhenti. Seorang anak perempuan tampak menangis di dekat sebuah pohon kelapa yang tumbang.

“Adik, mengapa menangis sendiri di sini?” tanya Princess Jihan sambil menghampiri.

“Aku … kehilangan … keluargaku. Bingung … mencari Ibu, Bapak dan Adik,” kata anak perempuan itu.

Princess Jihan memegang telapak tangan anak itu, lalu mengajaknya berdiri. “Mari ke tenda khusus biar kita lebih mudah menemukan keluargamu,” ajak Princess Jihan.

Mereka pun berjalan ke tenda khusus, Baru beberapa langkah seorang perempuan sebaya Princess Jihan menyambut mereka.

“Alhamdulillah. Wahida, kamu di sini? Aku mencarimu ke mana-mana. Keluargamu sudah berkumpul. Ayo kutemukan kamu. Mereka ada di sana,” kata perempuan itu.

Mata anak bernama Wahida itu langsung bercahaya karena senangnya. “Terima kasih, Kak Farah,” kata Wahida.

Princess Jihan hanya melihat dari jauh Wahida diantar menemui keluarganya. Lepas dari mengamati Wahida, Princess Jihan terus mengamati sosok Farah. Ya, gadis itu tampak gesit membantu orang-orang yang kesulitan dan membutuhkan bantuan.

Ketika ada anak kecil yang mengaduh, Farah langsung menghiburnya. Ketika ada yang kehausan, Farah langsung mengambilkan air minum. Ketika ada yang susah berajalan, Farah langsung memapahnya. Princess Jihan juga melihat ketika Farah mendapatkan sebuah roti, malah dibagikannya kepada korban yang sedang ingin makan.

“Siapakah dia? Apakah dia dari tim bantuan kesehatan kerajaan. Tapi mengapa dia tidak mengenakan seragam khusus?” tanya Princess Jihan.

Dayang Melati dan Dayang Mawar yang mendengar itu langsung bergerak mencari informasi.

“Farah adalah penduduk asli wilayah ini. Dia adalah juga korban bencana. Keluarganya semua selamat. Tapi seluruh harta bendanya hilang disapu badai,” lapor Dayang Melati.

“Farah adalah gadis yang sangat soleha. Menurut orang-orang, dia selalu mengucapkan Hamdalah di setiap awal kalimat yang diucapkannya,” tambah Dayang Mawar.

“Oh iya? Coba panggil dia ke mari. Aku ingin bicara dengannya,” pinta Princess Jihan.

Dayang Mawar dan Dayang melati pun menjemput Farah untuk menemui Princess Jihan.

“Bagaiamana kabarmu dan keluargamu, Farah?” tanya Princess Jihan setelah bertemu Farah.

“Alhamdulillah, kami semua dalam lindungan Allah,” jawab Farah.

“Mengapa kamu tidak beristirahat saja di tenda ini seperti yang lain? Mengapa justru sibuk membantu para petugas kesehatan kerajaan?” tanya Princess Jihan lagi.

“Alhamdulillah, Allah telah emberiku kekuatan untuk bisa membantu di sini. Kalau aku hanya duduk istirahat, aku malah nanti banyak melamun memikirkan kesedihan kami. Aku lebih suka sibuk membantu semua yang ada di sini,” jawab Farah.

“Kamu sungguh luar biasa, Farah. Aku harap kamu nanti ikut pulang denganku. Ajaklah seluruh keluargamu untuk menginap di istana kerajaan. Aku tahu rumah kalian hancur. Jadi menginap semntara di istana sampai rumah kaian dibangun kembali,” ajak Princess Jihan.

“Alhamdulillah, kami cukup betah walaupun tinggal sementara di tenda ini. Bukannya aku ingin membantah permintaan Princess Jihan ….”

“Tak apa jika kamu tidak mau. Tapi maukah kamu menjelaskan, mengapa kamu selalu mengucapkan hamdalah setiap kali bicara?” tanya Princess Jihan.

“Alhamdulillah, Ayah yang telah mengajarkannya kepadaku. Kata ayahku, agar kita selalu bersyukur dengan rejeki yang diberikan oleh Alah sekecil apapun. Kadang kala kita lupa mengucapkan hamdalah ketika mendapatkan rejeki, padahal semua rejeki yang kita terima datangnya dari Allah. Dengan membaca hamdallah, aku juga jadi terbiasa untuk tidak sombong atau hidup berlebihan,” jelas Farah.

Princess Jihan benar-benar kagum dengan kemuliaan hati Farah.

“Farah. Maukah kamu menjadi sahabatku?” tanya Princess Jihan lagi.

“Alhamdulillah, aku senang sekali. Tapi mengapa Princess Jihan memilih bersahabat denganku? Aku ini hanya orang biasa.”

“Tidak, Farah. Kau sangat istimewa buatku.” Princess Jihan kemudian memberikan selendangnya kepada Farah. “Ini tanda persahabatan dariku. Tolong diterima.”

Farah menerimanya dengan hati senang.

“Alhamdulillah, kamu mau menjadi sahabatku …,” ucap Princess Jihan sambil mendekap Farah.

Dayang Mawar dan Dayang Melati tersenyum senang melihat dua sahabat baru itu …. Alhamdulillah.

^-^

Jumat, 30 November 2007

MIMI KRIBO: Puisi Misterius


Seri MIMI KRIBO

Puisi Misterius

Oleh Benny Rhamdani

Mimi datang pagi-pagi ke sekolah. Dia harus mengerjakan lima pe-er matematika yang belum selesai. Semalam dia mengantar ibu ke apotek. Pulang agak larut malam. Jadi Mimi hanya sempat menyelesaikan lima belas dari duapuluh soal yang diberikan Pak Wibi.

Uuh, sebenarnya aku lebih suka disuruh berlari mengelilingi lapangan sekolah daripada mengerjakan pe-er matematika yang banyak, pikir Mimi. Apalagi setiap sau soal yang sulit bias membuat rambutnya makin kribo.

Sampai di kelas ada beberapa teman Mimi yang juga datang pagi-pagi. Mereka gerombolan Aga. Seperti biasa, Aga dan kawan-kawan akan datang pagi setiap ada e-er. Mereka lalu mendatangi Fajar dan mencontek pe-er dari buku Fajar.

“Tumben, anak pintar baru mengerjakan pe-er di kelas,” ledek Aga ketika melihat Mimi mengerjakan pe-er.

Mimi tidak menanggapi.

“Nih, pinjam sama Fajar saja. Gratis,” tambah Aga.

Mimi tak menyahut. Ufh! Akhirnya selesai juga semua pe-er dikerjakan Mimi. Kemudian Mimi menyimpan bukunya di laci meja. Tapi … Mimi menemukan sehelai kertas di laci itu.

Kertas apa ini? Pikir Mimi. Dia membaca kertas itu. Puisi!

Dalam sendiriku

Aku bersedih

Aku termenung

Tiada teman

Tiada sapa

Itukah kamu yang mau menjadi temanku?

Mimi berusaha mengerti arti puisi itu. Sepertinya, penulis puisi itu kesepian dan ingin punya teman.

Mimi menulis beberapa kalimat di bawah puisi itu: Aku bersedia menjadi temanmu. Jangan lagi bersedih. Namaku Mimi.

Mimi meletakkan kembali lembar kertas itu. Dia yakin yang menulis puisi itu adalah murid yang duduk di bangkunya. Tapi murid kelas siang, Ya, di sekolah Mimi memang ada dua waktu masuk yang berbeda. Kelas pagi dan kelas siang. Mimi tidak pernah tahu siapa yang duduk di bangkunya di waktu siang. Soalnya, begitu bel pulang berbunyi, Mimi langsung pulang ke rumah.

Keesokan paginya Mimi kembali menemukan selembar kertas bertuliskan puisi.

Uluranmu adalah senyumku

Sahabat, aku bahagia

Semoga kita kelak bertemu

Dan kita lewati hari-hari ceria

Mimi tersenyum karena ternyata si pengirim puisi itu kini sudah bahagia. Mimi menuliskan kalimat di bawah puisi itu: Namamu siapa?

Mimi meletakkan lembar kertas itu di laci meja. Tapi Mimi tak cukup sabar menunggu esok pagi. Sepulang sekolah, Mimi sengaja tak buru-buru pulang. Dia menunggu saat murid-murid kelas siang masuk. Ketika tanda amsuk kelas siang berbunyi, Mimi mengintip dari jendela kelas.

Bangku yang diduduki Mimi ternyata kosong di kelas siang. Tak ada yang menduduki. Apakah dia tidak masuk hari ini? Pikir Mimi.

Karena tak mau terlalu lama di sekolah, Mimi buru-buru pulang, Mama bisa marah kalau Mimi pulang sangat terlambat.

Esok paginya Mimi menemukan sehelai kertas. Kali ini bukan puisi.

Namaku Rani. Hari ini, sepulang sekolah, temui aku di bawah pohon flamboyan. Aku ingin bertemu denganmu .

Mimi mengerutkan dahinya. Jadi namanya Rani....

Akhirnya Mimi jadi tak sabar. Ia susah konsentrasi belajar di kelas. Apalagi ketika ia ingat sebuah cerita yang pernah dibacanya. Tentang seorang murid yang mendapat surat di laci meja, tapi ketika diselidiki ternyata surat itu dikirim oleh hantu. Konon, hantu itu adalah murid yang terserang penyakit jantung di kelas.

Ah, tapi itu kan, hanya cerita! Mimi menepis pikiran buruk di kepalanya.

Pulang sekolah Mimi menuju halaman belakang sekolah. Di sana tumbuh pohon flamboyan yang besar. Terkadang pohon itu berubah merah karena sedang berbunga.

Angin bertiup kencang ketika Mimi mendekati pohon. Aneh, Mimi tak menemukan seseorang pun di bawah pohon itu. Mungkinkah Rani terlambat datang?

Tapi ... heh apa itu?

Mimi melihat sepucuk surat yang ditindih batu tepat di salah satu akar flamboyan. Buru-buru Mimi membacanya.

Mimi ... aku tidak bisa datang. Sekarang, kamu menengoklah ke belakang ....

Mendadak Mimi merinding. Pelan-pelan ia menoleh. Dan ....

“Hahahahahaha! Kena dia kita kerjain!”

Muka Mimi merah. Di depannya, Aga dan kawan-kawan muncul dari tempat persenmbunyian. Mereka tampak senang telah mengerjain Mimi.

“Awas ya! Kalian akan kupukul satu per satu!” Mimi berlari menghampiri Aga dan kawan-kawannya.

Tentu saja niat Mimi tak berhasil. Aga dan kawan-kawannya sudah keburu lari kencang ... dan yang membuat Mimi bertambah marah ... mereka terus menertawakannya.

Nah, kalian ingin tahu balas dendam yang akan dilakukan Mimi? Kalian juga ingin tahu apakah Mimi berhasil membalas dendamnya kepada Aga dan kawan-kawan? Ikuti terus sepak terjang Mimi Kribo berikutnya ya!

@

DONGENG: Princess Alika


Princess Alika

Oleh Benny Rhamdani

Di kerajaan Hamesha tinggal seorang puteri cantik bernama Alika. Rambutnya panjang terurai dan matanya besar. Hobinya adalah melukis. Sebenarnya, Alika punya banyak hobi, misalnya membaca, menari, nonton drama, tapi yang paling disukai adalah melukis.

Pagi hari setelah sarapan, Alika bisaanya langsung meminta para pelayan membawa peralatan lukisnya ke suatu tempat. Bisa di balkon istana, di taman, atau di dalam istana. Yang merepotkan kalau Alika ingin melukis keadaan di luar istana. Misalnya tiba-tiba ingin melukis pasar. Wah, pasukan kerajaan pun harus ikut untuk mengamankan Alika.

“Puteriku, bukannya Ayah melarangmu melukis. Tapi janganlah membuat orang lain repot kalau ingin melukis,” ujar Raja Hamesha beberapa kali.

“Ayah, sebenarnya aku tidak meminta para pelayan dan pengawal itu terus mengikutiku melukis. Aku lebih suka pergi melukis sendiri tanpa dikawal prajurit istana. Cukup ditemani satu pelayan saja,” kata Alika.

“Tentu saja tidak bisa begitu. Kecuali kamu melukis di dalam istana. Kalau di luar istana, kamu tetap harus ditemani para pengawal,” kata Raja Hamesha.

Alika mengeluh kesal dalam hatinya. Sebenarnya, ia tidak suka kalau melukis di luar istana diikuti para pengawal. Suasananya jadi tidak seperti bioasanya. Tidak alami. Suasana pasar misalnya. Jadi sangat tertib dan para pedagang berwajah ketakutan karena ada pengawal. Hm, padahal Alika ingin melukis pasar yang sebenarnya.

“Ah, nanti malam aku ingin melukis kehidupan malam di perkampungan rakyat. Hm, tapi aku tidak ingin dikawal prajkurit istana. Bagaimana caranya ya?” pikir Alika kemudian.

Aha! Akhirnya Alika menemukan satu cara.

Setelah makan malam, Alika langsung menuju kamarnya. Ia lantas mendirikan alat lukis di dekat jendela kamar, juga guling yang dipakaikan bajunya. Dari kejauhan tampak seperti Alika yang sedang melukis di jendela kamar. Setelah itu Alika mengendap-endap ke luar istana sambil membawa peralatan lukisnya.

Alika menemukan satu jalan rahasia dari perpustakaan istana menuju ke sebuah menara di perkampungan. Walau sedikit gelap dan bau lembab, Alika mennyusuri lorong gelap itu. Ufh Akhirnya ia menaiki tangga, menuju pintu menara tua di tengah perkampungan. Ia merasa lega ketika tak ada seorang pun yang melihatnya.

“Tapi apa yang harus kulukis, ya?” tanya Alika dalam hati.

Alika memperhatikan rumah-rumah di sekelilingnya. Kemudian, Alika memutuskan untuk memerhatikan rumah-rumah itu dulu, baru melukisnya. Ia ingin melihat-lihat dulu dari jendela rumah-rumah itu, siapa tahu ada hal yang menarik untuk dilukis.

Di rumah pertama, Alika melihat seorang nenek tua tengah terbaring kedinginan. Sepertinya ia membutuhkan baju hangat yang tebal, juga selimut. “Ah, dia juga butuh kaos kaki dan minuman hangat. Mungkin juga kayu bakar untuk menghangatkan ruangan. Kasihan sekali. Apakah dia tidak punya anak seorang pun?” tanya Alika dalam hati.

Di rumah kedua, Alika melihat seorang ibu yang tengah kerepotan mengurus lima anaknya yang masih kecil-kecil.

“Sabarlah, sebentar lagi ayah kalian datang membawa makanan. Ibu juga sudah dua hari tidak makan. Sabar ya …,” kata Ibu itu.

Tak lama kemudian seorang lelaki masuk rumah. Itu ayah mereka. Dia mengeluarkan sepotong roti berukuran kecil. Sang Ibu membagikan roti itu untuk lima anaknya. Ibu itu sama seklai tak kebagian secuil pun.

Alika melongok lagi ke rumah ketiga. Di rumah itu ia melihat sepasang suami isteri tinggal berdua. Mereka berpakaian tebal yang bagus. Di segala penjuru rumah ada makanan enak. Tubuh suami isteri itu juga gendut seperti yang habis makan semua yang ada di meja makan.

Alika melongok ke rumah lainnya. Ada anak yang terbaring sakit, ada dokter yang sedang enak-enak makan, ada wanita muda yang tidur dengan tubuh perhiasan, dan banyak lagi pemandangan yang disangka Alika.

Setelah puas, Alika kembali ke menara tua. Ia tak jadi melukis tetapi malah kembali ke kamar.

Sejak malam itu, Alika jarang ke luar kamarnya. Raja Hamesha jadi cemas. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan diri puterinya.

“Puteriku, apakah Ayah terlalu kasar padamu, sampai-sampai kamu mengurung diri di kamar terus?” tanya Raja Hamesha.

“Ayah, aku ingin melukis di kamar selama sebulan ini. Tolong jangan diganggu. Nanti setelah sebulan, aku akan mengadakan pameran lukisanku, untuk semua rakyatku. Boleh kan, Ayah?” tanya Alika.

Raja Hamesha menggut-manggut.

Sebulan kemudian Alika menyelesaikan lukisannya. Ia pun memamerkan karya lukisnya di di sebuah gedung yang boleh dikunjungi semua penduduk.

Banyak orang yang kaget melihat karya lukis Alika. Apalagi ketika tahu yang dilukis adalah diri mereka.

Raja Hamesha juga kaget sekaligus terpukul hatinya. Ternyata, selama ini ia tak pernah melihat langsung keadaan rakyatnya. Diantara rakyatnya yang kaya dan sejahtera, masih ada beberapa rakyat yang hidup miskin.

“Puteriku, kamu telah membuka mataku lewat lukisanmu. Mulai saat ini, Ayah akan lebih memerhatikan rakyat lagi,” janji Raja Hamesha.

Alika tersenyum. Ia senang lukisannya bisa menggugah perasaan banyak orang. Bukan sekadar lukisan semata-mata untuk kepuasan pribadinya lagi.

^_^

Cerita Misteri: Misteri Boneka Beruang


Misteri Boneka Beruang

Oleh Benny Rhamdani

Anjeli menemukan boneka beruang itu di loteng rumah yang dijadikan gudang. Tepatnya di antara tumpukan mainan yang sudah tak terpakai. Anjeli baru kali ini masuk gudang dan melihat-lihat isinya. Sebelumnya ia merasa takut.

Dari semua mainan yang ada di loteng, cuma boneka beruang itu yang tidak Anjeli kenali.

“Ini boneka siapa ya? Mengapa aku tidak ingat pernah memilikinya?” Anjeli bingung.

Akhirnya, ia memutuskan mengambil boneka itu. Dibawanya boneka itu ke kamar setelah membersihkan debunya. Wah, bonekanya masih bagus. Tapi kenapa sudah disimpan di gudang? Apakah ini bekas mainan Kak Lisa?

Hm, kenapa tidak diberikan kepadaku? pikir Anjeli. Boneka sebagus itu memang masih layak dikoleksi. Bukan disimpan di gudang.

Anjeli memutuskan untuk bertanya langsung ke Kak Lisa. Dia segera menuju kamar Kak Lisa.

“Kak ….”

Kak Lisa langsung terkejut melihat Anjeli datang dengan boneka beruang itu.

“Ini bekas kakak ya?” tanya Anjeli.

“Bu … bukan. Dari mana kamu dapat boneka itu?” tanya Kak Lisa.

“Gudang.”

“Kenapa kamu masuk gudang? Kan, kakak udah bilang, di sana banyak setannya.”

“Ah, Kak Lisa. Anjeli bukan anak kecil lagi yang gampang ditakut-takuti. Anjeli sudah hapal ayat-ayat Al Quran. Jadi Anjeli tinggal berdoa, biar setannya takut. Hehehe,” Anjeli tertawa.

Kak Lisa menarik napasnya. “Kalau begitu boneka itu kembalikan ke gudang,” pinta Kak Lisa.

“Kenapa? Ini boneka bagus. Kenapa dibawa ke gudang?”

“Iya masih bagus. Tapi ….” Kak Lisa tidak meneruskan ucapannya.

“Ya, sudah kalau tidak mau kasih tahu. Anjeli mau ajak main di kamar.” Anjeli langsung menuju kamarnya. Ia bermain dengan boneka beruang itu sampai tertidur.

Saat bangun, Anjeli kaget karena boneka beruang itu tidak ada lagi di dekatnya. Pikiran Anjeli langsung menuduh Kak Lisa. Anjeli segera menuju kamar Kak Lisa. Tapi Kak lisa tidak ada di rumah.

Anjeli segera menuju kamar ayah dan ibu. Rupanya Ayah sudah pulang dari kantor.

“Ibu, apakah melihat kak Lisa? Tadi dia mengambil boneka beruang Anjeli,” ucap Anjeli.

“Boneka beruang?” Ibu bingung.

“Ah ….” Ayah langsung tersenyum. Tiba-tiba Ayah langsung berbisik ke telinga Anjeli. “Ayah tahu. Tapi jangan bilang ibu ya?”

Anjeli mengangguk. Lalu mengikuti Ayah. Ternyata Ayah bukannya menuju ke loteng malah mengajak Anjeli ke kamar Kak Lisa.

“Duduklah, Ayah mau menceritakan sesuatu ….”

Anjeli duduk di atas tempat tidur Kak Lisa.

“Boneka beruang tadi, Ayah yang mengambil. Ayah kembalikan ke gudang,” jelas Ayah yang sudah ditelepon Kak Lisa sebelumnya.

“Kenapa Anjeli tidak boleh punya beneka beruang itu?” Anjeli bingung.

Ayah terdiam sebentar. “Karena boneka beruang itu akan membuat Mama sedih setiap kali melihatnya,” ucap Ayah.

“Sedih? Kenapa?” Anjeli semakin bingung.

“Boneka itu adalah kepunyaan … saudara kembarmu. Ketika bayi, Anjeli punya saudara kembar. Lalu kalian sakit keras, sampai harus dirawat di rumah sakit. Saat sakit itulah Ayah membelikan boneka beruang untuk menghibur kalian. Tapi rupanya saudara kembarmu tidak kuat menahan penyakitnya. Sampai ahirnya meninggal. Nah, dulu setiap Ibu melihat boneka beruang itu, Ibu sedih. Ibu selalu teringat saudara kembarmu yang meninggal …”

Anjeli sedih. Ia menitikkan air matanya. Ya, dia sudah pernah mendengar kisah bahwa sebenarnya ia punya saudara embar. Tapi ia tidak ingat apa-apa kejadian yang membuat saudara kembarnya meninggal.

Tiba-tiba Ibu membuka pintu kamar kak Lisa sambil membawa boneka beruang.

“Tapi sekarang Ibu sudah tidak sedih. Percayalah. Ambil boneka ini, Anjeli. Ibu masih punya Anjeli yang cantik, jadi Ibu tidak akan sedih lagi,” ucap Ibu sambil menyodorkan boneka beruang.

“Sungguh?” Anjeli ragu.

“Iya. Ambillah,” Ibu tersenyum.

Duh, Anjeli jadi senang. Senang karena mendapat boneka beruang. Juga karena Ibu tidak sedih lagi.

^-^

Seri: Princess Jihan


Princess Jihan

Keajaiban Basmallah

Princess Jihan baru selesai mengaji Al Quran ketika dua orang dayang masuk ke kamarnya.

“Princess Jihan, Baginda Raja meminta Princess segera menghadap. Ada hal penting yang harus segera disampaikan Baginda Raja,” kata seorang dayang.

“Terima kasih. Aku akan segera menghadap Ayahanda,” ucap Princess Jihan sambil berdiri. Ia lalu berjalan meninggalkan kamar menuju singgasana Raja Haedar di ruang tengah Istana Kerajaan Istiqlal.

Raja Haedar langsung tersenyum melihat kedatangan putri tercintanya. Dia meminta Princess Jihan duduk di dekatnya.

“Ada apa, Ayahanda? Apa Ayahanda memanggilku untuk menghukumku karena pagi ini aku membuka semua pintu sangkar burung di istana ini?” selidik Princess Jihan.

Raja Haedar tersenyum. “Tidak, Putriku. Apa yang kamu lakukan itu hal yang benar. Tidak sepatutnya burung-burung itu diam di dalam sangkar. Justru Ayah ingin berterimakasih karena kamu sudah mengingatkan kita semua,” kata Raja Haedar.

Princess Jihan tersenyum. Ia bangga memiliki ayah yang sangat bijak.

“Ayah sebenarnya memanggilmu bukan untuk urusan itu. Tapi ini mengenai undangan dari Istana Kerajaan Tabasyum. Raja Faisal dan Ratu Mohini mengundangmu untuk berakhir pekan di istananya bersama dua putri kembarnya,” jelas Raja Haedar sambil menjulurkan gulungan sutra berisi undangan khusus untuk Princess Jihan.

“Akhir pekan ini? Berarti lusa,” ucap Princess Jihan setelah membaca undangan itu.

“Ya. Apa kamu sudah punya rencana di hari itu?” tanya Haedar.

“Tadinya aku ingin mengunjungi panti-panti jompo di kerajaan ini. Tapi, kalau undangan itu penting, aku bisa menggantinya di lain hari,” kata Princess Jihan.

Raja Haedar mengangguk senang. “Kalau begitu bersiaplah. Ayah akan mengutus orang untuk menyampaikan pesan kesediaanmu dating ke Istana Kerajaan Tabasyum,” kata Raja haedar kemudian.

Princess Jihan kemudian kembali ke kamar diikuti dua dayang setianya.

“Dayang, apa yang kalian tahu tentang putri kembar Kerajaan Tabasyum? Aku sama sekali tidak mengenal mereka. Bahkan mendengar mereka pun tidak pernah,” tanya Princess Jihan.

Dayang berhias bunga mawar berkata, ”Aku pernah melihat mereka. Dua putri itu sama sekali tidak seperti saudara kembar. Yang satu gemuk sekali bernama Princess Fathiya, satunya kurus sekali bernama Princess Salimar. Bila sedang berdua, mereka seperti gulungan besar benang rajut dan jarum rajutnya.”

Dayang berhias bunga melati berkata pula,”Kalau aku cuma pernah mendengar bahwa kelakuan mereka menyebalkan. Ada saja ulah mereka yang membuat seisi istana kesal.”

“Mudah-mudahan Princess Jihan tidak diganggu mereka selama di sana,” harap Dayang Mawar.

“Kalau mereka macam-macam, tarik saja rambut mereka,” saran Dayang Melati.

“Hush, kamu malah memberi saran yang salah!” kata Dayang Mawar.

“Terus Princess Jihan harus bagaimana? Diam saja?” tanya Dayang Melati.

“Ceburkan saja mereka ke kolam buaya!” jawab Dayang Mawar.

“Itu lebih salah!” kata Dayang Melati.

Princess Jihan tersenyum lalu meminta dua dayangnya membantu membereskan untuk persiapan lusa.

Dua hari kemudian Princess Jihan berangkat menuju Kerajaan Tabasyum. Setelah hampir seharian berkereta kuda, ia tiba di depan gerbang istana yang megah. Di depannya terhampar taman bunga dan kolam yang sangat indah.

Princess Jihan disambut ramah oleh Ratu Mohini dan Raja Faisal.

“Kenalkan ini dua putri kembarku. Princess Fathiya dan Princess Shalimar,” kata Raja Faisal memperkenalkan.

Princess Jihan menyalami dua putri kembar itu. Ia kemudian diminta masuk ke dalam istana untuk upacara penyambutan. Saat itulah seisi istana memandang takjub melihat kecantikan Princess Jihan. Sungguh berbeda dengan dua Princess di istana mereka.

Melihat pemandangan tersebut, dua putri itu pun langsung merasa iri. Terbersit niat jahil di kepala Princess Shalimar.

Princess Shalimar berusaha berjalan sedikit di belakang Princess Jihan. Dia hendak mempermalukan Princess Jihan dengan menginjak gaun suteranya yang menjuntai ke lantai. Dia berharap Princess Jihan terjatuh karenanya.

Tapi ups! Kain sutra baju Princess Jihan sangat lembut dan licin. Sedangkan tubuh Princess Shalimar sangat ringan. Buuk! Malah Princess Shalimar yang akhirnya terjatuh.

“Oh Princess Shalimar tidak apa-apa, kan?” tanya Princess Jihan sambil membantu membangunkan Princess Shalimar. “Maaf bajuku kepanjangan.”

“Tidak apa-apa,” kata Princess Shalimar sambil berusaha berdiri.

Upacara penyambutan pun diteruskan hingga acara makan bersama di meja makan kerajaan yang panjang. Saat inilah Princess Fathiya giliran merencanakan sesuatu yang bisa mempermalukan Princess Jihan.

Princess Fathiya mengeluarkan tabung kecil dari balik gaunnya. Tabung itu berisi bubuk cabe yang jika dicampurkan ke makanan bisa membuat mulut siapapun terbakar. Saat melihat Princess Jihan lengah, ia segera memasukkan bubuk itu ke dalam mangkuk sup.

Princess Fathiya menutup mulutnya dengan jemarinya ketika melihat Princess Jihan siap menyendok sup. Tapi mendadak Princess Fathiya merasa sesuatu yang aneh di daluran pernafasannya. Dan Hatsyihhhhhh!

Bersin Princess Fathiya ternyata hampir mirip angin puting beliung. Semua yang ada di meja makan berterbangan tak karuan. Bahkan ada mangkok yang hinggap di kepala Princess Shalimar.

Olala! Ternyata Princess fathiya tidak sadar jika saat membuka tabung tadi ada bubuk cabe yang tercecer di jemarinya. Hingga ketika menutup mulutnya terhirup hidung dan membuatnya bersin.

Mangkuk sup Princess Jihan ikut terbalik sehingga ia tidak jadi menyuap sup ke mulutnya. Acara penyambutan pun berakhir akrena acara makan yang mendadak kacau. Princess Jihan pun diantar dayang-dayang ke kamar peristirahatan.

Sementara itu, Ratu Mohini meminta dua putri kembarnya menemuinya di kamar. Wajah Ratu Mohini tampak keras menahan kesal.

“Putri-putriku, Ibu tahu apa yang telah kalian lakukan terhadap tamu kita. Sungguh memalukan. Ibu mengundang Princess Jihan ke sini bukan untuk kalian permalukan, tapi Ibu ingin kalian belajar banyak hal darinya. Kalian bukan anak-anak lagi jadi harus segera banyak belajar dari banyak orang,” kata Ratu Mohini marah.

“Apa yang bisa kami pelajari dari dia?” tanya Princess Fathiya.

“Banyak. Coba lihat sosok Princess Jihan. Dia tidak hanya bersikap santun, tapi juga cantik. Tubuhnya indah walapun memakai kerudung. Tidak seperti kalian. Apa kalian pikir akan ada pangeran tampan yang akan meminang jika kalian terus seperti ini?” Ratu Mohini tetap kesal.

“Lantas apa yang harus kami lakukan?” tanya Princess Shalimar kemudian.

“Coba belajarlah darinya sehingga kalian bisa seperti dirinya. Catatlah semua ilmu yang kalian tahu. Jika sepulang Princess Jihan kalian tidak mengumpulkan catatannya kepada Ibu, kalian akan Ibu kirim sekolah di hutan selama sebulan,” kata Ratu Mohini.

“Ba ... baik, Bunda!” kata Princess Fathiya dan Princess Shalimar serempak.

Begitu Ratu Mohini keluar kamar, mereka langsung mengambil buku catatan kecil dan pena. Keduanya kemudian menemui Princess Jihan. Hampir setiap gerakan Princess Jihan ditulis oleh mereka.

Princess Jihan berganti pakaian, ditulis. Princess Jihan makan malam, dicatat. Princess Jihan bicara, dicatat. Bahkan Princess jihan tidur pun dicatat. Mungkin cuma saat ke toilet saja mereka tidak mencatat. Keesokan subuh ketika Princess Jihan bangun pun mereka sudah bersiap mencatat.

Hal itu membuat Princess Jihan bingung.

“Duhai saudari-saudariku, apa yang sedang kalian lakukan sebenarnya? Mengapa kalian mencatat setiap aku melakukan sesuatu?” tanya Princess Jihan.

“Kami sebenarnya ... hanya ingin tahu hal apa saja yang kamu lakukan sehari-hari,” jelas Princess Fathiya.

“Memangnya kenapa?” tanya Princess Jihan.

“Kami ingin sepertimu. Cantik dan bertubuh indah. Tidak terlalu gemuk ataupun terlalu kurus seperti kami,” kata Princess Shalimar.

“Kami sudah mengamati cara makanmu. Ternyata makan yang kamu makan juga sama dengan kami,” kata Princess Fathiya.

“Oooh ... itu!” Princess Jihan tersenyum. “Sebenarnya ... rahasiaku adalah mengucapkan sebuah kalimat yang diajarkan ayahku setiap hendak melakukan sesuatu.”

“Kalimat rahasia? Apakah itu mantra ajaib?” tanya putri kembar itu.

“Bukan mantra. Tapi bacaan basmallah!” tegas Princess Jihan.

“Hah! Basmallah???” Dua putri itu kembali kaget.

“Iya. Maksudku Bismillahirahmanirahim. Yang artinya Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kata ayahku, setip kali kita mengerjakan sesuatu dengan menyebut nma Allah, berarti kita selalu mengingat Allah. Nah, jika kita selalu mengingat Allah, maka Allah pun akan senantiasa mengingat kita. Sehingga kita selalu dikasihi dan disayang Allah.”

Putri kembar itu manggut-manggut mendengarnya.

“Misalkan mau makan, jika kita baca basmallah maka kita akan doilindungi Allah dari godaan setan perut,” kata Princess Jihan.

“Setan perut?” Princess Fathiya bingung.

“Iya. Setan ini sering memakan makanan yang kita makan, hingga akhirnya tubuh kita selalu kurus. Setan ini juga sering membuat perut kita terus lapar meski sudah makan. Akhirnya kita terus-teruisan ingin makan, sampai tubuh kita gendut,” tambah Princess Jihan.

Princess Fathiya dan Princess Shalimar langsung tertunduk malu.

“Kata ayahku, ketika kita mau berpergian jika membaca basmallah akan dilindungi Allah dari segala marabahaya.”

“Jika kita mau berpkaian juga membaca basmallah agar baju yang kita pakai benar-benar bisa melindungi tubuh kita.”

“Pokoknya untuk segala kegiatan aku selalu mengucapkan basmallah sebelum mulai,” tegas Princess Jihan.

“Terima kasih atas penejalasanmu. Mulai sekarang kami tak akan lupa membaca basmallah sepertimu,” kata Princess Fathiya dan Princess Shalimar.

Mereka bertiga kemudian bermin bersama. Tak ada lagi rasa iri di hati Princess Fathiya dan Princess Shalimar. Apalagi Princess Jihan juga mengajarkan hal yang berkaitan dengan sopan santun kepada mereka.

Esok harinya ketika Princess Juihan kembali ke istananya, Princess Fathiya dan Princess Shalimar merasa sedih. Mereka berjanji akan balas mengunjungi istana Kerajaan Istiqlal.

“Pokoknya, kutunggu kedatangan kalian ya! Assalamualaikum!” seru Princess Jihan sambil melambaikan tangan di jendela kereta kuda.

“Waalaikumsalam!” seru semua yang mengantar.

Setelah kereta kuda menghilang dari pandangan, Princess Shalimar dan Princess Fathiya mendekati ibu mereka.

“Ibu, ini catatan dari kami seperti yang Ibu pinta,” kata Princess Fathiya dan Princess Shalimar.

Ratu Mohini tak sabar membacanya. Ketika gulunga kertas ditangannay terbuka, Ratu Mohini hanya membaca sebris kalimat basmallah yang ditulis dengan indah oleh kedua putri kesayangannya.

Bismillahirahmanirahim

^_^

Selasa, 11 September 2007

#3 : Penghuni Rumah Kosong


Penghuni Rumah Kosong

Oleh Benny Rhamdani

“Aku yakin di rumah itu ada penghuninya?”

Malik dan Arya langsung memandang ke sebuah rumah di atas bukit. Dari tempat mereka duduk, rumah itu tampak kecil.

“Tapi kita semua tahu, rumah itu sejak lama kosong,” kata Malik sambil menoleh ke arah Joko.

Ada orang yang pernah melihat cahaya di malam hari di rumah itu,” kata Joko menegaskan berita yang disampaikannya.

“Menurut ayahku, rumah itu sengaja ditinggal pemiliknya setelah keluarganya meninggal dalam suatu kecelakaan. Pemiliknya pindah ke kota lain, lalu rumah itu hendak dijualnya. Tapi tidak ada yang mau membeli rumah itu,” sambung Arya.

“Ya itu sebabnya rumah itu kosong dalam waktu yang lama. Aku malah mendengar pemiliknya sudah pindah ke Belanda karena memang keturunan Belanda,” sambung Malik.

Mereka memang tidak mengenal betul keluarga pemilik rumah itu. Para penghuni rumah itu hampir tidak pernah terlihat keluar rumah atau bergaul dengan masyarakat sekitar. Hanya sesekali terlihat rumah itu didiami sebuah keluarga terdiri dari sepasang ayah dan ibu berdarah campur kulit putih, dan dua anak mereka. Sebuah kecelakaan terjadi setahun silam, yang selamat hanya ayah mereka.

“Bagaimana kalau kita masuk ke rumah itu untuk mengetahui bahwa rumah itu benar-benar kosong?” ucap Joko.

“Ah, kamu ada-ada saja. Apa untungnya?” kilah Malik.

“Kamu takut ya? Takut kalau rumah itu ada makhluk halusnya,” serang Joko.

“Sejak kapan aku jadi penakut?” Malik tak mau disebut penakut.

“Aku juga penasaran. Bagaimana kalau kita ke sana sekarang?” ajak Arya.

“Bagaimana kalau besok saja? Lebih siang lagi. Sekarang sudah sore. Hampir magrib,” ucap Malik.

1 0“Kalau kamu tidak mau ikut tidak apa-apa. Tapi aku tidak mau lagi berteman denganmu,” kata Joko sambil meloncat turun dari dahan pohon yang sejak tadi didudukinya.

Arya ikut melompat ke tanah. Begitu pula dengan Malik. Mereka bertiga berjalan menapaki jalan setapak menuju bukit kecil itu. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah besar yang telah ditumbuhi ilalang. Jarak rumah itu ke rumah lainnya cukup jauh. Belum lagi pagar halaman yang tinggi. Tidak heran jika jarang orang yang mengenal penghuni rumah itu.

Joko berusaha membuka pintu rumah itu. Tapi terkunci. Arya berusaha mencari celah untuk masuk.

Lewat sini. Ini ada besi pagar yang rusak. Kita bisa menerobos lewat sini,” ujar Arya.

Ketiganya kemudian menerobos masuk. Joko paling depan, disusul Arya, dan Malik di bagian belakang.

“Kita berpencar saja mencari jalan masuk. Kalau ada yang menemukan segera beritahu yang lain,” usul Joko.

Malik mengangguk walau ragu, sementara Arya mengangguk mantap.

Arya langsung menaiki tangga beton di sisi rumah. Malik ke bagian kanan, sementara Joko ke sisi kiri.

“Wah jendela ini terkunci,” gumam Joko ketika berusaha membuka sebuah jendela.

Joko kembali berjalan. Akhirnya dia menemukan sebuah pintu di bawah menuju ke ruang bawah tanah. Joko langsung membuka pintu yang ternyata kuncinya sudah rusak.

Suasana gelap dan aroma lembab langsung menyambut Joko. Hanya sedikit cahaya yang masuk ke tempat itu. Joko sengaja tidak menutup kembali pintunya agar cahaya tetap masuk.

“Hm, ini pasti gudang,” pikir Joko sambil terus masuk. Dia melihat berbagai peralatan yang sudah berdebu ketika dipegangnya.

Joko akhirnya menemukan pintu yang sepertinya mengarah ke dalam rumah.

“Aku langsung masuk atau memanggil Arya dan Malik dulu ya?” pikirnya.

Setelah menimang-nimang sebentar, Joko memutuskan masuk. Ia membuka handel pintu dan mendorongnya. Pintu terbuka! Joko mengintai sesaat. Ternyata benar, pintu itu menghubungkan dengan ruang belakang rumah.

Joko melangkah masuk. Terus ke ruang tengah yang megah. Begitu melihat tangga menuju lantai dua, Joko langsung menapakinya. Tapi baru beberapa anak tangga, tiba-tiba Joko melihat bayangan bergerak di lantai atas. Dan muncullah …

“Tolong!!!” Joko memutar tubuhnya lalu berlari. Tapi dia tersandung dan terjatuh. Buk! Kakinya langsung kram tak bisa digerakkan.

“Tolong …. Tolong!” teriak Joko. Telinganya menangkap suara mendekatinya. Dan Joko langsung tak sadarkan diri ketika sesuatu menyentuh pundaknya.

Saat sadar, Joko menemukan dirinya terbaring di kasur yang empuk. Dia juga melihat dua sahabatnya duduk di dekatnya. “Di mana kita?” tanyanya bingung.

“Tenang saja dulu. Kita dalam keadaan aman,” kata Arya.

“Aku bingung orang seberani kamu kok bias pingsan?” sindir Malik.

“Aku tadi melihat … hantu,” kata Joko.

“Tidak ada hantu di sini. Rumah ini ternyata memang tidak kosong. Ada penghuninya. Tapi bukan hantu,” kata Malik.

“Ya, memang tidak ada hantu di sini,” tiba-tiba muncul seorang pria dewasa sambil membawa secangkir sirup untuk Joko. “Minumlah dulu biar segar. Maafkan tadi Bapak sudah mengagetkanmu.”

Joko meminum limun itu meski bingung.

“Beliau ini adalah Pak Hansen. Pemilik rumah ini. Sebulan sekali beliau datang ke sini untuk memeriksa rumahnya. Nah, kebetulan tadi kita masuk saat beliau ada di rumah. Aku bertemu dengan beliau di garasi sedang membersihkan mobilnya ketika aku mengitari rumah. Lantas aku menemui Arya di tangga. Pak Hansen lalu mengajak kami masuk lewat tangga itu. Saat itulah lalu Pak Hansen melihat kamu menaiki tangga di dalam rumah. Lalu kamu malah menjerit dan pingsan,” papar Malik.

Muka Joko langsung memerah karena malu. Tadi dia memang tidak melihat jelas bayangan di lantai atas. Tapi perasaan takutnya telah membuatnya berpikir itu adalah bayangan hantu.

“Yuk, kita pulang! Sudah mau magrib. Nanti orangtua kita malah mencari-cari kita,” ajak Malik kemudian.

“Ya, pulanglah dulu. Besok main saja ke sini lebih siang. Bapak sangat senang jika ada yang main ke sini.”

Mereka bertiga pamit pulang. Setelah agak jauh, tiba-tiba Joko teringat suatu hal yang aneh.

“Aku heran pada satu hal. Bagaimana Pak Hansen bisa masuk ke rumahnya itu tanpa meninggalkan jejak?” ucap Joko.

“Maksudmu?” tanya Malik.

“Pak Hansen pasti datang ke rumahnya itu dengan mobil. Nah, saat tadi kita melewati pintu pagar, aku sama sekali tidak melihat bekas jejak mobil. Harusnya ada rumput yang terlindas. Tapi semua rumput masih berdiri tegak.”

“Jangan pikir yang macam-macam ah!” ucap Arya. “Kamu bikin aku merinding nih.”

“Kita tanya saja besok kalau menemuinya lagi. Bagaimana kalau kita ke rumah itu lagi besok siang?” ajak Joko.

Arya dan Malik mengangguk setuju.

Tapi saat malam tiba, mereka beritga berubah pikiran. Mereka sama-sama tidak ingin lagi ke rumah itu. Karena malam harinya, mereka melihat rumah kosong itu sangat gelap gulita. Tak ada tanda-tanda bahwa Pak Hansen tinggal di rumah itu. Ya, bagaimana mungkin orang akan betah tinggal sendirian di rumah besar dan gelap gulita itu.

Menurut kalian bagaimana?

^-^

Sabtu, 08 September 2007

#2 : Seri Mimi Kribo: Kaos Singlet Ajaib


Serial MIMI KRIBO

Kaos Singlet Ajaib

Oleh Benny Rhamdani

Gara-gara sering nonton sinetron Eneng dan Kaos Kaki Ajaib, Topan sering ngobrol dengan kaos kakinya. Padahal kaos kaki itu baunya minta ampun. Eh, Topan malah ngajak ngobrol dekat-dekat hidungnya.

“Kaos kaki, tolongin aku dong. Besok ulangan matematika susah banget. Bantu aku kasih bocoran soalnya ya,” kata Topan.

Tentu saja kaos kaki itu tidak dapat memenuhi permintaan Topan. Jelas itu kaos kaki bukan kaos kaki ajaib. Tapi kaos kaki bulukan. Boro-boro membocorkan soal ulangan matematika, ngomong saja tidak mungkin. Paling yang bias hanyalah menebarkan bau tidak sedap.

Mimi yang tinggal bertetangga dengan Topan jelas khawatir dengan tingkah lakunya. Sebagai teman sekaligus tetangga yang baik, Mimi tidak mau Topan bertingkah aneh. Alasannya ada dua. Pertama, Mimi bakal malu bertetangga dengan teman yang aneh. Kedua, Mimi takut ketularan. Sebab belum ketularan saja, Mimi sudah dianggap aneh oleh teman-temannya.

“Panto, sadar dong. Jangan ngomong sama kaos kaki itu. Iu bukan kaos kaki ajaib kayak di sinetron,” kata Mimi memberi nasehat.

“Namaku Topan, bukan Panto. Kalau dalam bahasa Sunda kan artinya Panto itu pintu,” protes Topan.

“Lho, apa bedanya kamu sama pintu? Kalian sama-sama nggak pernah mau dengar kata-kataku,” kata Mimi sambil menarik bagian rambut kribonya yang di depan, berharap agar tiba-tiba ia punya poni lurus sepanjang lima senti. Belum ada yang seperti itu, kan?

“Ya, sudah. Aku tambah tidak mau ngomong dengan kamu. Mendingan ngomong sama kaos kaki ajaibku saja,” kata Topan.

“Iya deh, Topan. Ngomong-ngomong kenapa sih kamu suka ngobrol atau mohon sesuatu sama kaos kakimu itu?” Tanya Mimi.

“Ya, siapa tahu kaos kaki ini ajaib dan dapat membantuku,” jawab Topan.

“Hm, setahuku, kita tuh hanya boleh memohon sama Allah saja.”

“Tapi di sinetron kok boleh?” tanya Topan.

“Ya, namanya juga sinetron. Di sinetron juga ada anak lelaki kayak kamu, terus saking nurutin sinetron dia dikutuk ibunya jadi ember. Apa kamu percaya?”

“Percaya. Makanya aku selalu hati-hati memakai ember di rumah. Siapa tahu itu adalah salah satu kakakku yang tidak kukenal yang pernah dikutuk ibuku,” timpal Topan.

Mimi jadi gemas dengan tanggapan Topan. Ya, Topan tidak bisa diubah lagi hanya dengan kata-kata. Harus ada tindakan yang lebih nyata.

Dua hari kemudian Mimi kembali bermain ke halaman belakang rumah Topan. Kali ini Mimi membawa selembar kaos singlet miliknya.

“Hai Topan, sekarang aku pecaya kalau kaos kakimu itu memang benar-benar ajaib,” kata Mimi.

“Maksudmu?” Topan bingung.

“Iya, ternyata bukan hanya kaos kaki. Kaos singlet pun bisa punya keajaiban. Lihat ini! Inilah kaos singlet ajaib!” seru Mimi sambil mengacungkan kaos singlet belel miliknya. Sudah ada beberapa bagian yang bolong.

Topan terpana melihat Mimi memamerkan singlet belel. Muka Topan mirip anak sapi yang melihat ibunya tiba-tiba berubah menjadi panda.

“Apa buktinya kalau singlet butut itu punya keajaiban?” tanya Topan.

“Oh tentu saja ada. Semalam dia membocorkan sebuah rahasia padaku,” ucap Mimi serius.

“Rahasia apa?” tanya Topan.

“Di atas genteng rumahmu ada sesuatu yang berharga,” kata Mimi.

“Oh ya?” Topan buru-buru mengambil tangga bambu. Ditaikinya tangga itu sampai mencapai atap rumah. Tak lama kemudian ia berteriak. “Ya, ternyata betul!”

“Betul kenapa?” tanya Mimi.

“Aku menemukan pasangan dari kaos kakiku yang hilang. Pasangan kaos kaki ajaibku! Aku sudah lama mencari-carinya. Ternyata terbawa angin ke atap.”

“Syukurlah kalau begitu!” Mimi juga bingung. Sebenarnya dia sama sekali mengarang soal seasuatu yang berharga itu. Mimi malah berharap Topan tidak menemukan apa-apa. Sehingga Topan sadar bahwa kejaiaban kaos singlet itu hanya bualan, sama seperti kaos kaki ajaibnya.

Setibanya di tanah, Topan terus melonjak-lonjak girang sambil masuk ke adalam rumah. Tak lama kemudian yang keluar justru Bu Ubay dengan muka kusut.

“Kenapa kelihatan pusing. Bu Ubay?” tanya Mimi.

“Itu si Topan menemukan pasangan kaos kakinya. Padahal ibu sudah sengaja membuangnya ke atas biar tidak ditemukan Topan. Biar tidak dipakai dia lagi,” kata Bu Ubay.

“Hah, kenapa sih memangnya?” Mimi penasaran.

“Kaos kaki itu hadiah sewaktu Topan menang lomba balap karung tahun lalu. Karena cuma satu-satunya kaos kaki itu yang pernah menjadi hadiah lomba baginya, maka terus-terusan dia pakai. Sampai butut masih mau dipakai. Ibu kan malu. Makanya Ibu sengaja buang sebelah,” jelas Bu Ubay.

“Ya, tapi jadinya Topan kan nggak menyangka punya kaos kaki ajaib lagi, menurutku itu lebih menakutkan,” kata Mimi.

“Ah itu hanya akal-akalan dia saja. Biar semua orang ngasih perhatian sama dia,” kilah Bu Ubay sambil garuk-garuk kepala.

Kali ini Mimi jadi ketularan garuk-garuk kepala. Sebelum kepalanya bertambah pusing Mimi kembali ke rumah. Keesokan harinya, pusing di kepalanya bukannya hilang, malah semakain berat. Tiba-tiba saja semua orang bertanya, “Mimi, kamu punya kaos singlet ajaib ya? Katanya bisa menemukan benda-benda berharga kita yang hilang ya?”

Aaaaaargggghhhh….

Mimi benar-benar menyesal ikut campur, sok ingin menyelesaikan masalah temannya!

^-^